ULAR DAN MERAK

Pada suatu hari, seorang muda bernama Adi, Si Mesin Hitung -karena ia belajar matematika- memutuskan untuk meninggalkan Bhokara guna mencari ilmu yang lebih tinggi. Gurunya menasehatkan agar ia berjalan ke arah selatan, dan katanya, "Carilah makna Merak dan Ular." tentu saja anjuran itu membuat Adi berpikir keras.
Ia mengembarai Khorasan dan akhirnya sampai di Irak. Di negeri Irak, ia benar-benar menemukan tempat yang terdapat seekor merak dan seekor ular. Adipun mengajak bicara mereka. Kedua binatang itu berkata, "Kami sedang memperbincangkan keunggulan kami masing-masing."

"Nah, justru itu yang ingin kuketahui," kata Adi. "Teruskan berbincang-bincang."
"Rasanya, akulah yang lebih berguna," kata Merak. "Aku melambangkan cita-cita, perjalanan ke langit keindahan sorgawi, dan karenanya juga pengetahuan adiluhung. Adalah tugasku untuk mengingatkan manusia, dengan cara menirukan, tentang segi-segi dirinya yang tak dilihatnya."
"Sebaliknya, aku," kata Ular, sambil mendesis pelahan, "melambangkan hal itu juga. Seperti manusia, aku terikat pada bumi Kenyataan itu menyebabkan manusia menyadari dirinya. Juga seperti manusia, aku lentur, bisa berkelok-kelok menyusur tanah. Manusia sering melupakan kenyataan itu. Menurut kisah , akulah penjaga harta yang tersembunyi di bumi."

"Tetapi kau menjijikkan," teriak Merak. "Kau licik, licin, dan berbahaya."
"Kau menyebut sifat-sifat kemanusiaanku," kata Ular, "sedangkan aku lebih suka menunjukkan sifat-sifatku yang lain, yang sudah kusebut-sebut tadi. Sekarang, lihat dirimu sendiri: kau sombong, kegemukan, dan suaramu serak. Kakimu terlalu besar, bulu-bulumu berlebihan panjangnya."
Sampai disini Adi menyela, "Hanya ketidak-cocokanmulah yang telah menyebabkan aku mengetahui bahwa tak ada di antara kalian yang benar. Namun kita jelas-jelas melihat, apabila kalian sama-sama meninggalkan keasyikan diri sendiri, secara bersama-sama kalian bisa memberi pesan bagi kemanusiaan."

Dan, sementara dua pihak yang bertengkar itu mendengarkannya, Adi menjelaskan peran mereka bagi kemanusiaan: "Manusia melata di tanah bagai Si Ular. Ia bisa melayang tinggi bagai Burung. Namun, karena tamak seperti Ular, ia tetap mempertahankan kepentingan diri sendiri ketika berusaha terbang, dan mereka menjadi seperti Merak; terlampau sombong. Dalam diri Merak, kita melihat kemungkinan manusia, namun yang tidak tercapai dengan semestinya. Pada kilauan Ular, kita menyaksikan kemungkinan keindahan. Pada Merak, kita menyaksikan keindahan itu menjadi terlalu berbunga-bunga."

Dan kemudian terdengar Suara dari dalam berbicara kepada Adi, "Itu belum lengkap. Kedua makhluk itu diberkahi kehidupan, yang merupakan faktor penentu. Mereka bertengkar karena masing-masing telah merasa aman dalam jenis kehidupannya sendiri, beranggapan bahwa hal itu merupakan perwujudan suatu kedudukan yang sebenarnya. Namun, yang seekor menjaga harta dan tidak bisa mempergunakannya. Yang lain mencerminkan keindahan, harta juga, namun tidak bisa mengubah dirinya sendiri menjadi keindahan. Di Samping ketidakmampuan keduanya untuk mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka bagi mereka keduanya pun melambangkan kesempatan itu --tentu bagi mereka yang bisa melihat dan mendengarnya."

Catatan
Pemujaan Ular dan Merak di Irak didasarkan pada ajaran seorang Syeh Sufi, Adi, putra Musafir, pada abad kedua belas. Pemujaan itu dianggap suatu misteri oleh kebanyakan orientalis.
Kisah ini, yang tercatat dalam legenda, menunjukkan bagaimana guru-guru darwis membentuk "mazhab-mazhab"-nya berdasarkan pelbagai lambang, yang dipilih untuk memberi contoh ajaran-ajarannya.

Dalam bahasa Arab, "Merak" melambangkan juga "perhiasan;" sedangkan "Ular," memiliki bentuk huruf yang sama dengan "organisme" dan "kehidupan." Oleh karena itu perlambangan Pemujaan Malaikat Merak yang tersembunyi -Kaum Yezidis- adalah suatu cara untuk menunjukkan "Bagian Dalam dan Luar," rumus rumus Sufi tradisional.
Pemujaan itu masih ada di Timur Tengah, dan memiliki penganut (tak ada di antara mereka itu yang orang Irak) di Inggris dan Amerika Serikat.
TOKO LAMPU
Pada suatu malam gelap, dua orang bertemu di sebuah jalan yang sunyi.
"Saya mencari sebuah toko dekat-dekat sini, namanya Toko Lampu," kata yang pertama.
"Saya kebetulan orang sini, dan bisa menunjukkannya pada saudara," kata orang kedua.
"Saya harus bisa menemukannya sendiri. Saya sudah diberi petunjuk, dan sudah saya catat pula," kata yang pertama.
"Jadi, kenapa Saudara mengatakan hal itu kepada saya?"

"Iseng saja."
"Jadi Saudara ingin ditemani, tidak ditunjukkan arahnya?"
"Ya, itulah maksud saya."
"Tetapi lebih mudah bagi Saudara kalau ditunjukkan arahnya oleh penduduk sini, sudah sejauh ini: apalagi mulai dari sini jalannya sulit."
"Saya percaya pada apa yang sudah dikatakan kepada saya, yang telah membawaku sejauh ini. Saya tidak yakin bisa mempercayai sesuatu atau seseorang lain lagi."

"Jadi, meskipun Saudara mempercayai pemberi keterangan yang pertama, Saudara tidak diajar cara memilih orang yang bisa Saudara percayai?"
"Begitulah."
"Saudara punya tujuan lain?"
"Tidak, hanya mencari Toko Lampu itu."
"Boleh saya bertanya: kenapa Saudara mencari toko lampu itu?"
"Sebab saya diberi tahu para ahli bahwa di tempat itulah saya bisa mendapatkan alat-alat yang memungkinkan orang membaca dalam gelap."

"Saudara benar, tetapi ada syarat, dan juga sedikit keterangan. Saya ragu apakah mereka sudah memberitahukan hal itu kepada Saudara."
"Apa itu?"
"Syarat untuk bisa membaca dengan lampu adalah bahwa Saudara harus sudah bisa membaca."
"Saudara tidak bisa membuktikannya!"
"Tentu saja dalam malam gelap semacam ini saya tidak bisa membuktikannya."
"Lalu, ,sedikit keterangan, itu apa?"

"Sedikit keterangan itu adalah bahwa Toko Lampu itu masih di sana, tetapi lampu-lampunya sudah dipindah ke tempat lain."
"Saya tidak tahu 'lampu' itu apa, tetapi tampaknya Toko Lampu adalah tempat menyimpan alat tersebut. Oleh karena itulah ia disebut Toko Lampu."
"Tetapi 'Toko Lampu' bisa mempunyai dua makna yang berbeda, yang bertentangan. Yang pertama, 'Tempat di mana lampu-lampu bisa didapatkan;' yang ke dua, "Tempat di mana lampu-lampu pernah bisa didapatkan, tetapi kini tidak ada lagi."

"Saudara tidak bisa membuktikannya!"
"Saudara akan dianggap tolol oleh kebanyakan orang."
"Tetapi ada banyak orang yang akan menganggap Saudara tolol. Mungkin Saudara bukan Si Tolol. Saudara mungkin mempunyai maksud tersembunyi, menyuruh saya pergi ke tempat teman Saudara yang berjualan lampu. Atau mungkin Saudara tidak menginginkan saya mempunyai lampu sama sekali."
"Saya ini lebih buruk dari yang Saudara bayangkan. Saya tidak menjanjikan Saudara 'Toko Lampu' dan membiarkan Saudara menganggap bahwa masalah Saudara akan terpecahkan di sana, tetapi saya pertama-tama ingin mengetahui apakah Saudara ini bisa membaca. Saya tentu bisa mengetahuinya seandainya Saudara berada dekat sebuah toko semacam itu. Atau apakah lampu bisa didapatkan bagi Saudara dengan cara lain."

Kedua orang itu saling memandang, dengan sedih, sejenak. Lalu masing-masing melanjutkan perjalanannya.
Catatan
Syeh-Per Syatari, penulis kisah ini, meninggal di India pada tahun 1632. Makamnya di Meerut.
Ia dipercaya bisa melakukan hubungan telepati dengan guru-guru "masa lampau, kini, dan masa depan," dan memberi mereka kemudahan untuk menjelaskan pesan mereka lewat kepandaiannya menyusun kisah-kisah berdasarkan kehidupan sehari-hari.
TIGA ORANG DARWIS
Konon, ada tiga orang darwis. Mereka bernama Yak, Do, dan Se. Mereka masing-masing berasal dari Utara, Barat, dan Selatan. Mereka memiliki suatu hal yang sama: berusaha mencari Kebenaran Dalam, oleh karenanya mereka mencari Jalan.
Yang pertama, Yak-Baba, duduk dan merenung sampai kepalanya pening. Yang kedua, Do-Aghas tegak dengan kepala di bawah sehingga kakinya kaku. Yang ketiga, Se-Kalandar, membaca buku-buku sampai hidungnya mengeluarkan darah.

Akhirnya mereka memutuskan untuk berusaha bersama-sama. Mereka mengundurkan diri ke tempat sunyi dan melakukan latihan bersama, mengharap agar ketiga kekuatan yang digabung akan cukup kuat untuk mendatangkan Kebenaran, yang mereka sebut Kebenaran Dalam.
Empat puluh hari empat puluh malam lamanya mereka bertahan menderita. Akhirnya, dalam pusaran asap putih muncullah kepala seorang lelaki yang sangat tua di hadapan mereka; tampaknya ia muncul dari tanah. "Apakah kau Kidir yang gaib itu, pemandu manusia?" tanya darwis pertama. "Bukan, ia Kutub, Tiang Semesta," sahut yang kedua. "Aku yakin, itu pasti tak lain salah seorang dari para Abdal. Orang-orang Yang Terubah," kata yang ketiga.

"Salah semua" teriak bayang-bayang itu keras-keras, "tetapi aku adalah apapun yang kau inginkan tentangku. Dan kini kalian menginginkan satu hal, yakni yang kausebut Kebenaran Dalam?"
"Ya, O Guru," sahut mereka serentak.
"Pernahkah kalian mendengar peribahasa, ada banyak Jalan sebanyak hati manusia?" tanya kepala itu. Bagaimanapun, inilah jalanmu:
"Darwis pertama akan mengembara melalui Negeri Orang Tolol; Darwis Kedua harus menemukan Cermin Ajaib; Darwis Ketiga harus meminta pertolongan Jin Pusaran Air." Setelah berkata demikian, kepala itupun menghilang.

Mereka bertiga membicarakan masalah itu, tidak hanya karena mereka memerlukan penjelasan lebih lanjut sebelum berangkat, tetapi juga karena meskipun mereka semua telah mengadakan latihan berbagai cara, masing-masing percaya bahwa hanya ada satu cara yakni caranya sendiri, tentu saja. Dan kini, masing-masing tidak yakin benar bahwa caranya sendiri itu cukup berguna, meskipun boleh dikatakan telah mampu mendatangkan bayang-bayang yang baru saja mereka saksikan tadi, yang namanya sama sekali tidak mereka ketahui.

Yak-Babalah pertama-tama meninggalkan tempat samadinya; biasanya ia akan bertanya kepada orang yang ditemuinya, apakah ada orang bijaksana yang tinggal dekat-dekat daerah itu; tetapi kini ia bertanya apakah mereka mengetahui Negeri Orang Tolol. Akhirnya setelah berbulan-bulan lamanya, ada juga yang tahu, dan berangkatlah ia menuju kesana. Segera setelah ia memasuki negeri itu, dilihatnya seorang wanita menggendong pintu. "Wanita," tanyanya, "mengapa kaugendong pintu itu?"

"Sebab, pagi tadi, sebelum berangkat kerja, suamiku berpesan: "Istriku, dirumah kita ini tersimpan harta berharga. Jangan kauperbolehkan orang melewati pintu ini." Karena aku pergi, kubawa pintu ini agar tidak ada yang melewatinya. Kini perkenankanlah saya melewatimu."
"Apakah saya boleh menjelaskan sesuatu agar kau tahu bahwa sebenarnya tak perlu kau bawa kemana-mana pintu itu?" tanya Darwis Yak-Baba. "Tidak usah," kata wanita itu. "Satu-satunya yang bisa menolong adalah apabila Saudara bisa menjelaskan cara memperingan bobot pintu ini."

"Wah, itu saya tidak tahu," kata Darwis. Dan mereka pun berpisah.
Beberapa langkah kemudian ia menjumpai sekelompok orang. Mereka semua gemetar ketakutan di depan sebuah semangka besar yang tumbuh di ladang. "Kami belum pernah melihat raksasa itu sebelumnya," mereka menjelaskan kepada Darwis itu, "dan tentunya ia akan tumbuh semakin besar dan membunuh kami semua. Tetapi kami takut menyentuhnya."

"Bolehkah saya mengatakan sesuatu kepada kalian tentang itu?" tanyanya kepada mereka.
"Jangan goblok!" jawab mereka. "Bunuhlah ia, dan kau akan diberi hadiah, tetapi kami tidak mau tahu apapun tentangnya." Maka Darwis itupun mengeluarkan pisau, mendekati semangka itu, memotong seiris, dan kemudian mulai memakannya
Di tengah-tengah jerit ketakutan yang hiruk-pikuk orang-orang itu memberinya uang. Ketika ia pergi, mereka berkata, "Kami mohon jangan kembali kemari, Tuan Pembunuh Raksasa. Jangan datang kemari dan memakan kami seperti tadi!"

Demikianlah, sedikit demi sedikit ia mengerti bahwa di Negeri Orang Tolol, agar bisa bertahan hidup, orang harus bisa berfikir dan berbicara seperti orang tolol. Setelah beberapa tahun lamanya, ia mencoba mengubah beberapa orang tolol menjadi waras, dan sebagai hadiahnya pada suatu hari Darwis itu mendapatkan Pengetahuan Dalam. Meskipun ia menjadi orang suci di Negeri Orang Tolol, rakyat mengingatnya hanya sebagai Orang yang Membelah Raksasa Hijau dan Meminum Darahnya. Mereka mencoba melakukan hal yang sama, untuk mendapatkan Pengetahuan Dalam --dan mereka tak pernah mendapatkannya.

Sementara itu, Do-Agha, Darwis Kedua, memulai perjalanannya mencari Pengetahuan Dalam. Kali ini ia tidak menanyakan tentang orang-orang suci atau cara-cara latihan yang baru, tetapi tentang Cermin Ajaib, Jawaban-jawaban yang menyesatkan sering didengarnya, namun akhirnya ia mengetahui tempat Cermin itu. Cermin itu tergantung di sumur pada seutas tali yang selembut rambut, dan sebenarnya hanya sebagian saja, sebab Cermin itu terbuat dari pikiran-pikiran manusia, dan tidak ada cukup pikiran untuk bisa membuatnya sebuah Cermin yang utuh.

Setelah itu ia berhasil menipu raksasa yang menjaganya, Do-Agha menatap Cermin itu dan meminta Pengetahuan Dalam. Sekejap saja ia sudah memilikinya. Iapun tinggal di sebuah tempat dan mengajar dengan penuh kebahagiaan beberapa tahun lamanya. Tetapi pengikut-pengikutnya tidak bisa mencapai taraf pemusatan pikiran yang diperlukan untuk memperbaharui cermin itu secara teratur, cermin itu pun lenyaplah. Namun, sampai hari ini masih ada orang-orang yang menatap cermin, membayangkan bahwa Cermin Ajaib Do-Agha, Sang Darwis.

Sedangkan Darwis Ketiga, Se-Kalandar, ia pergi ke mana-mana mencari Jin Pusaran Air. Jin itu dikenal dengan pelbagai nama, namun Se-Kalandar tidak mengetahuinya; dan bertahun-tahun lamanya ia bersilang jalan dengan Jin itu, senantiasa gagal menemuinya karena Jin itu disana tidak dikenal sebagai Jin dan mungkin tidak dikait-kaitkan dengan pusaran air.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun lamanya, ia pergi kesebuah dusun dan bertanya, "O Saudara-saudara! apakah ada diantara kalian yang pernah mendengar tentang Jin Pusaran Air?"

"Saya tak pernah mendengar tentang Jin itu," kata seseorang, "tetapi desa ini disebut Pusaran Air."
Darwis merubuhkan tubuhnya ke tanah dan berteriak, "Aku tak akan meninggalkan tempat ini sampai Jin Pusaran Air muncul di hadapanku!"
Dan Jin itu, yang sedang lewat dekat tempat itu, memutar langkahnya dan berkata, "Kami tidak menyukai orang asing di desa kami, darwis. Karena itu aku datang padamu. Nah, apa yang kau cari?"

Aku mencari Pengetahuan Dalam, dan aku diberi tahu bahwa dalam keadaan tertentu kau bisa mengatakan padaku bagaimana mendapatkannya.
"Tentu, aku bisa," kata Si Jin. "Kau telah mengalami banyak hal. Yang harus kau lakukan tinggal mengucapkan ungkapan ini, menyanyikan lagu itu, melakukan tindakan itu. Kau pun nanti akan mendapatkan Pengetahuan Dalam."
Darwis itu mengucapkan terima kasih kepada Jin, lalu memulai latihannya. Bulan-bulan berlalu, kemudian bertahun-tahun, sampai akhirnya ia berhasil melakukan pengabdian dan ketaatannya secara benar. Orang-orang datang dan menyaksikannya dan kemudian meniru-nirunya, karena semangatnya, dan karena ia dikenal sebagai orang yang taat dan saleh.

Akhirnya Darwis itu mencapai Pengetahuan Dalam; jauh meninggalkan pengikut-pengikutnya yang setia, yang meneruskan cara-caranya. Tentu saja mereka itu tidak pernah mencapai Pengetahuan Dalam, sebab mereka memulai pada akhir telaah Sang Darwis.
Setelah itu, apabila ada pengikut-pengikut ketiga Darwis itu bertemu, salah seorang berkata, "Aku memiliki kaca Tataplah, dan kau akan mencapai Pengetahuan Dalam."

Yang lain menjawab, "Korbankan semangka,ia akan menolongmu seperti yang pernah terjadi atas Yak-Baba."
Yang ketiga menyela, "Tak mungkin: Satu-satunya cara adalah tabah dalam mempelajari dan menyusun latihan tertentu, sembahyang, dan bekerja keras."
Ketika pada kenyataannya ketiga Darwis itu berhasil mencapai Pengetahuan Dalam, mereka bertiga mengetahui bahwa tak mampu menolong mereka yang telah mereka tinggalkan di belakang: seperti ketika seorang terbawa oleh air pasang dan melihat di darat ada seorang diburu singa, dan tidak bisa menolongnya.

Catatan
Petualangan-petualangan orang-orang ini nama-nama mereka berarti "satu," "dua" dan "tiga" --kadang-kadang diartikan sebagai ejekan terhadap agama yang lazim.
Kisah ini merupakan ringkasan sebuah kisah ajaran yang terkenal, "Apa yang Terjadi atas Mereka Bertiga." Kisah ini dianggap sebagai ciptaan guru Sufi, Murad Shami, kepala Kaum Muradi, yang meninggal tahun 1719. Para darwis yang menceritakannya menyatakan bahwa kisah ini mempunyai pesan dalam yang jauh lebih penting dalam hal-hal praktis, daripada arti yang diluarnya saja.


TIGA NASEHAT
Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."
Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.
Kata burung itu,
"Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."
Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan.
Di sampaikannya nasehat yang kedua,
"Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."
Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata,

"O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"
Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga itu!"
Si Burung menjawab,
"Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum kaurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!

Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."
Catatan
Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting untuk "mengakalkan" pikiran siswa Sufi, menyiapkannya menghadapi pengalaman yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa.
Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi, kisah ini kedapatan juga dalam klasik Rumi, Mathnawi. Kisah ini ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar, salah seorang guru Rumi. Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas.

TIGA KEBENARAN
Para Sufi dikenal sebagai Pencari Kebenaran, yang berupa kenyataan obyektif. Konon, seorang tiran yang bodoh dan dengki memutuskan untuk memiliki kebenaran ini. Namanya Rudarigh, seorang raja besar di Marsia, Spanyol. Ia menetapkan bahwa kebenaran akan bisa didengarnya kalau Umar al-Alawi dari Tarragona dipaksa untuk mengatakannya.
Umar pun di tangkap dan dibawa ke Istana. Kata Rudarigh, "Aku telah memutuskan agar kebenaran yang kau ketahui harus kaukatakan kepadaku dalam kata-kata yang bisa kumengerti, kalau tidak nyawamu harus kau pertaruhkan."

Umar menjawab, "Apakah Tuan mengetahui kebiasaan dalam istana perkasa ini, apabila seorang yang ditahan mengungkapkan kebenaran sebagai jawaban atas suatu pertanyaan dan kebenaran itu tidak membuktikannya salah, maka ia akan dibebaskan kembali?"
"Memang demikian," kata Raja.
"Saya minta semua yang hadir di sini menjadi saksi," kata Umar, "dan saya tidak hanya akan mengungkapkan satu kebenaran, tetapi tiga."

"Kami juga harus yakin," kata Rudarigh, "bahwa yang kau sebut kebenaran itu memang benar-benar kebenaran. Harus ada bukti-bukti yang menyertainya."
"Bagi Raja seperti baginda," kata Umar, "yang pantas menerima tidak hanya satu kebenaran tetapi sekaligus tiga, kami juga akan bisa memberikan kebenaran yang nyata dengan sendirinya."
Rudarigh sangat puas menerima pujian itu.
"Kebenaran pertama," kata Si Sufi, "adalah, sayalah yang bernama Umar Si Sufi dari Tarragona. Yang kedua adalah bahwa Baginda akan melepaskan saya jika saya telah mengungkapkan kebenaran. Yang ketiga, Baginda ingin mendengarkan kebenaran yang bisa Baginda pahami."

Karena kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata tersebut, Rajapun terpaksa membebaskan kembali darwis itu.
Catatan
Cerita ini menampilkan legenda lisan darwis yang biasanya disusun oleh Al-Mutanabbi. Cerita-cerita ini, menurut juru ceritanya, tidak boleh dituliskan selama 1.000 tahun.
Al-Mutanabbi, salah seorang penyair Arab terbesar, meninggal seribu tahun yang lalu.
Salah satu ciri kumpulan cerita ini adalah bahwa selalu mengalami perubahan, disebabkan oleh penceritaan kembali terus-menerus sesuai dengan "perubahan zaman."

0 komentar: