Sultan yang menjadi orang buangan

Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran. Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan, pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya, dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya masih belum habis ketika Nabi turun kembali.


Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya tidak masuk akal.
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak memuaskan raja.
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata, "Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian. Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal, yang dangkal dan terbatas."

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak ada seorang perajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.
"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu. Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api sama sekali.
Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu tak ada.
Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.

Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin membalas dendam.
Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.

Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya yang tak karuan.

Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya, "Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini. Ayo, ikut aku."
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.

Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila berada di jalan.
Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun diperdengarkan.
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu: sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya. Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.

Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawai keratonnya.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa, hingga berani melakukan hal itu terhadapku?"
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut, "yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu. Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi? Syeh pun menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat). Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada di Damaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.

Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya?

Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu. Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali. Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
Catatan
Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau pendengarnya.
Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."

Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui' khalayak."
Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu" dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.

Sipemurah

Ada seorang kaya dan murah hati yang tinggal di Bokhara. Karena ia memiliki pangkat tinggi dalam hirarki yang tak kelihatan, ia dikenal sebagai Pemimpin Dunia. Ia membuat satu syarat bagi hadiah yang dibagikannya. Setiap hari diberikannya emas kepada segolongan masyarakat --yang sakit, yang janda, dan selanjutnya. Namun tak diberikannya apapun kepada yang membuka mulut.

Tidak semua orang bisa berdiam diri.
Pada suatu hari tibalah giliran para hakim menerima hadiah. Salah seorang diantara mereka itu tidak bisa menahan diri mengajukan permohonan sebaik-baiknya.
Ia tidak diberi apapun.
Tetapi itu bukan usaha terakhir. Hari berikutnya, para cacat diberi hadiah, dan iapun pura-pura patah anggota badannya.
Tetapi Sang Pemimpin mengenalnya, dan ia pun tak mendapatkan apa-apa.

Hari berikutnya lagi ia kembali menyamar, menutupi wajahnya, di antara golongan masyarakat yang berbeda. Lagi-lagi ia dikenali, dan diusir.
Berulang kali ia mencoba, bahkan pernah menyamar sebagai wanita: namun semuanya tanpa hasil.
Akhirnya hakim ini bertemu dengan seorang pengurus jenazah dan memintanya untuk membungkus dirinya dengan kain kafan. "Kalau Sang Pemimpin lewat, mungkin ia nanti menganggapku mayat. Ia mungkin melemparkan uang untuk ongkos penguburanku dan kau nanti kuberi bagian."

Dilaksanakanlah hal itu. Sekeping uang emas dilemparkan oleh Pemimpin ke bungkusan kafan itu. Hakim itupun menangkapnya, khawatir kalau pengurus jenazah itu menangkapnya lebih dahulu. Kemudian berkatalah ia kepada pemurah itu, "Kau telah mengingkari hadiah untukku. Catat bagaimana aku telah mendapatkannya!"
"Tak ada yang bisa kau dapatkan dariku," jawab orang murah hati itu, "sampai kau mati." Itulah makna kalimat rahasia 'orang harus mati sebelum ia mati.' Hadiah itu datang setelah 'kematian,' dan tidak sebelumnya. Dan bahkan 'kematian' inipun tak mungkin ada tanpa pertolongan."

Catatan
Kisah ini, yang dikutip dari Mathnawi, karya Rumi, sudah jelas dengan sendirinya.
Para darwis mempergunakannya untuk menekankan bahwa meskipun anugerah bisa "digaet" oleh Si Cerdik, kemampuan ('emas') yang diambil secara baik-baik dari seorang guru seperti Si Pemurah dari Bokhara itu memiliki kekuatan yang melampaui ujud luarnya. Itulah nilai yang sukar dipahami mengenai Berkah.

SANTAPAN DARI SORGA


Yunus, putra Adam, pada suatu saat memutuskan untuk tidak sekedar menyerahkan hidupnya pada nasib, tetapi mencari cara dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.
"Aku manusia," katanya kepada dirinya sendiri. "Sebagai manusia aku mendapat sebagian dari kebutuhan dunia, setiap hari. Bagian itu aku dapat karena usahaku sendiri, didukung oleh usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses ini, aku akan mencari tahu bagaimana cara makanan mencapai manusia, dan belajar sesuatu mengenai bagaimana dan mengapanya. Daripada hidup di dunia kacau-balau ini, dimana makanan dan kebutuhan lain jelas datang melalui masyarakat, aku akan menyerahkan diriku kepada Penguasa langsung yang memerintah segalanya. Pengemis hidup lewat perantara: Lelaki dan wanita yang pemurah, yang merelakan sebagian hartanya berdasarkan desakan hati yang tidak sepenuh-penuhnya. Mereka melakukan itu karena telah dididik berbuat demikian. Aku tidak mau menerima sumbangan yang tidak langsung itu."

Selesai berbicara sendiri itu, iapun berjalan ke tempat terpencil, menyerahkan dirinya kepada bantuan kekuatan gaib dengan keyakinan yang sama seperti ketika ia menyerahkan dirinya kepada bantuan yang kasat mata, yakni ketika ia dulu menjadi guru di sebuah sekolah.
Ia pun jatuh tertidur, yakin bahwa Allah akan mengurus kebutuhannya sebaik-baiknya, sama seperti burung-burung dan binatang lain mendapatkan keperluannya di dunia mereka sendiri.

Waktu subuh, kicau burung membangunkannya, dan anak Adam itu mula-mula berbaring saja, menanti munculnya makanan. Meskipun ia mula-mula sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada kekuatan gaib dan yakin bahwa ia akan mampu memahaminya kalau kekuatan gaib itu mula bekerja di tempat itu, Yunus segera menyadari bahwa renungan saja tidak akan banyak membantunya di medan yang tidak biasa ini.
Ia berbaring di tepi sungai, dan menghabiskan seluruh hari memperhatikan alam, mengintai ikan di sungai, dan bersembahyang. Satu demi satu lewatlah orang-orang kaya dan berkuasa, disertai pengiring yang naik kuda bagus-bagus; terdengar kelinting pakaian kuda menandakan keyakinan jalan yang ditempuhnya, dan mendengar salam orang-orang itu karena mereka melihat ikat kepala yang dikenakannya. Kelompok-kelompok penziarah beristirahat dan mengunyah kue kering dan keju, dan air liurnya pun semakin mengucur membayangkan makanan yang paling sederhana.

"Ini hanya ujian, dan semua akan segera berlalu," pikir Yunus, ketika ia selesai mengerjakan sembahyang Isya, dan memulai tepekurnya menurut cara yang pernah diajarkan kepadanya oleh seorang darwis yang memiliki pandangan tajam dan luhur dalam mencapai tujuan.
Malam pun berlalu.
Dan Yunus sedang duduk menatap berkas-berkas sinar matahari yang patah-patah terpantul di Sungai Tigris yang agung, ketika lima jam sesudah subuh, pada hari kedua, tampak olehnya sesuatu menyembul-nyembul di antara alang-alang. Barang itu ternyata sebuah bungkusan daun yang diikat dengan serabut kelapa.

Yunus, anak Adam, terjun ke sungai dan mengambil benda aneh itu.
Beratnya sekitar setengah kilogram. Ketika dibukanya pengikat itu, bau yang sedap menyerang lubang hidungnya. Yunus mendapat halwa Bagdad. Halwa makanan itu, dibuat dari cairan buah badam, air mawar madu, dan kacang - dan pelbagai bahan lain yang berharga - oleh karenanya sangat digemari karena rasanya yang enak dan khasiatnya yang tinggi bagi kesehatan. Putri-putri cantik penghuni harem menggigit- gigitnya karena rasanya yang enak; para prajurit membawanya ke medan perang karena bisa menimbulkan ketahanan tubuh. Ia pun bisa dipergunakan untuk mengobati seratus penyakit.

"Keyakinanku terbukti!" kata Yunus. "Dan kini tinggal mengujinya. Jika ada halwa yang sebesar ini, atau makanan yang sama, diantarkan kepadaku lewat sungai ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang teratur, aku akan mengetahui cara yang ditempuh oleh Sang Pemelihara untuk memberi makanan padaku. Dan sesudah itu aku bisa menggunakan akalku untuk mencari sumbernya."
Tiga hari berturut-turut sesudah itu, pada jam-jam yang tepat sama, sebungkus halwa terapung menuju ke tempat Yunus.

Ia berkeyakinan kuat bahwa hal itu merupakan penemuan yang maha penting. Kita sederhanakan saja keadan kita, dan Alam terus menjalankan tugasnya dengan cara yang kira-kira sama. Hal itu saja melupakan penemuan yang dirasanya harus disebarkan ke seluruh dunia. Bukankah sudah dikatakan, "Kalau kau mengetahui sesuatu, ajarkan itu." Namun kemudian disadarinya bahwa ia tidak mengetahui, ia baru mengalami. Langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah mengikuti jalan halwa itu mudik sampai ia mencapai sumbemya. Tentu ia nanti tidak hanya mengetahui asal usulnya, tetapi juga cara bagaimana makanan itu sengaja disediakan untuk dimakannya.

Berhari-hari lamanya Yunus mengikuti alur sungai setiap hari secara teratur tetapi pada waktu yang semakin lama semakin awal halwa itu muncul, dan Yunus memakannya.
Akhirnya Yunus melihat bahwa sungai itu bukannya tambah sempit di udik, tetapi malah melebar. Di tengah-tengah sungai yang luas itu terdapat sebidang tanah yang amat subur. Di tanah itu berdiri sebuah istana yang kokoh namun indah. Dari sanalah, pikirnya, makanan itu berasal.

Ketika ia sedang memikirkan langkah berikutnya Yunus melihat seorang darwis yang tinggi dan kusut, yang rambutnya kusut bagaikan pertapa dan pakaiannya bertambal warna-warni, berdiri dihadapannya.
"Salam, Bapak," kata Yunus.
"Salam, huuu!" jawab pertapa itu keras. "Apa pula urusanmu disini?"
"Saya melakukan suatu penyelidikan suci," anak Adam itu menjelaskan, "dan saya harus mencapai benteng di seberang itu untuk menyempurnakannya. Barangkali Bapak mengetahui akal agar saya bisa kesana?"

"Karena tampaknya kau tak mengetahui apa-apa tentang benda itu, walaupun aku sendiri menaruh minat padanya," kata pertapa itu, "akan kuberi tahu juga kau tentangya.
Pertama-tama, putri seorang raja tinggal di sana, dalam tawanan dan pembuangan, dijaga oleh sejumlah dayang-dayang jelita, memang enak, tetapi terbatas juga geraknya. Sang Putri tidak bisa melarikan diri sebab lelaki yang menangkap dan memenjarakannya disana -karena Sang Putri menolak lamarannya- telah mendirikan rintangan-rintangan yang kokoh tak terlampaui, yang tak tampak oleh mata. Kau harus mengungguli rintangan-rintangan itu agar bisa memasuki benteng dan mencapai tujuanmu."

"Bapak bisa menolong saya?"
"Aku sendiri sedang akan memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi, kukatakan padamu rahasia sepatah kata, Wazifa, yang-kalau memang sesuai untuk itu- akan membantumu mengumpulkan kekuatan gaib para Jin berbudi, makhluk api, yakni satu-satunya makhluk yang dapat mengungguli kekuatan sihir yang telah mengunci benteng tersebut. Semoga kau selamat." Dan pertapa itupun pergi, setelah mengucapkan suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak tangkas dan cekatan, sangat mengagumkan mengingat sosoknya yang patut dimuliakan itu.

Berhari-hari lamanya Yunus duduk latihan dan memperhatikan munculnya halwa. Kemudian, pada suatu malam ketika sedang disaksikannya matahari bersinar-sinar di menara benteng, tampak olehnya pemandangan yang aneh. Disana, berkilauan dalam keindahan sorgawi, berdirilah seorang gadis yang tentunya putri yang dikisahkan itu. Beberapa saat lamanya ia berdiri menyaksikan matahari, dan kemudian menjatuhkan sesuatu ke ombak yang mengalun jauh di bawah kakinya -yang dijatuhkannya itu adalah halwa. Nah, ternyata itulah sumber langsung karunianya.

"Sumber Makanan Sorga!" teriak Yunus. Kini ia merasa berada diambang kebenaran. Kapanpun nanti, Pemimpin Jin, yang dipanggil-panggilnya lewat wazifa darwis, tentu datang, dan akan dapatlah ia mencapai benteng, putri, dan kebenaran itu.
Tidak berapa lama sesudah pikiran itu melintas di benaknya, ia merasa dirinya terbawa terbang melewati langit yang tampaknya seperti kerajaan dongeng, penuh dengan rumah-rumah yang indah mengagumkan. Ia memasuki salah satu diantaranya, dan disana berdiri seorang makhluk bagai manusia, yang sebenarnya bukan manusia: tampaknya masih muda, namun bijaksana, dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk itu, "adalah Pemimpin Jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sesuai dengan permintaan Tuan melalui Nama Agung yang telah diberikan kepada Tuan oleh Sang Darwis Agung. Apa yang bisa hamba lakukan untuk Tuan?"

"O Pemimpin Jin yang perkasa," kata Yunus gemetar, "aku Pencari Kebenaran,dan jawaban bagi pencarianku itu hanya bisa aku dapatkan di dalam benteng yang mempesona di dekat tempatku berdiri ketika kau memanggilku ke mari. Berilah aku kekuatan untuk memasuki benteng itu dan untuk berbicarakepada putri yang terkurung di sana."
"Permohonan dikabulkan!" kata Sang Pemimpin Jin. "Tetapi ketahuilah, orang mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya memahami dan persiapannya sendiri."

"Kebenaran tetap kebenaran," kata Yunus, "dan aku akan mendapatkannya, apa pun juga ujudnya nanti. Berikan anugerah itu."
Segera saja Yunus dikirim cepat-cepat dalam keadaan tak kelihatan (dengan kekuatan sihir Jin), dikawal oleh sekelompok Jin kecil-kecil sebagai pembantunya, yang oleh Pemimpinnya diberi tugas mempergunakan kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu. Ditangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpinnya diberikan tugas mempergunakan kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu. Di tangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpin Jin harus diarahkan ke benteng untuk melihat rintangan-rintangan yang tak kelihatan.

Lewat batu itulah anak Adam mengetahui bahwa benteng tersebut di jaga oleh sederet raksasa, tak tampak tetapi mengerikan, yang menghantam siapapun yang mendekat. Jin-jin pembantu yang ahli dalam tugas khusus berhasil menyingkirkan mereka. Berikutnya Yunus melihat ada semacam jala atau jaring yang tak kelihatan, yang menutupi seluruh benteng itu. Itu pun bisa disingkirkan oleh Jin-jin yang memiliki kccerdikan untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya ada seonggokan batu besar yang tak kelihatan yang ternyata memenuhi jarak antara benteng dan tepi sungai. Batu-batu itu dibongkar semua oleh kelompok Jin tersebut, yang setelah menjalankan tugas-tugasnya, memberi salam lalu pergi secepat kilat ke tempat asalnya.

Yunus menyaksikan ada sebuah jembatan yang dengan kekuatan gaib, muncul dari dasar sungai sehingga ia bisa berjalan sampai ke benteng itu dengan tetap kaki kering. Seorang pengawal gerbang langsung membawanya menghadap Sang Putri, yang kini bahkan tampak lebih elok lagi dari pada dulu ketika pertama kali tampak.
"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena telah menghancurkan rintangan yang mengurus benteng ini," kata putri itu. "Dan sekarang saya bisa pulang ke ayah dan ingin sekali memberi hadiah Tuan yang telah bersusah-payah selama ini. Katakan, sebut apa saja, dan saya akan memberikannya kepada Tuan."

"Mutiara tiada tara," kata Yunus, "hanya ada satu hal yang saya cari, yakni kebenaran. Karena sudah merupakan kewajiban siapa pun yang memiliki kebenaran untuk memberikan kepada siapapun yang bisa memanfaatkannya, saya memohon dengan sangat, Yang Mulia, agar memberikan kebenaran yang sangat saya butuhkan."
"Katakan, dan kebenaran yang bisa saya berikan, akan sepenuhnya menjadi milik Tuan."

"Baiklah, Yang Mulia. Bagaimana, dan atas perintah apa Makanan Sorga, yakni halwa yang setiap harinya Tuan Putri berikan kepada saya itu, diatur pengirimannya secara demikian?"
"Yunus, anak Adam," kata Sang Putri, "halwa, begitu nama yang kauberikan, yang saya lemparkan setiap hari itu sebenarnya tak lain sisa-sisa bahan perias yang saya gosok setelah saya mandi air susu keledai."

"Akhirnya saya memahami," kata Yunus, "bahwa pengertian manusia sesuai dengan syarat kemampuannya untuk mengerti. Bagi Tuan Putri, itu merupakan sisa bahan perias. Bagi saya, Makanan Sorga."
Catatan
Menurut Halqawi (penulis kisah ini), hanya beberapa kisah Sufi yang bisa dibaca oleh siapapun waktu kapanpun, dan tetap bisa memberikan perbaikan "kesadaran batin."
"Hampir semua yang lain," katanya, "tergantung pada di mana, kapan, dan bagaimana kisah-kisah itu dipelajari. Demikianlah, kebanyakan orang akan menemukan hal-hal yang mereka harapkan: hiburan, teka-teki, ibarat."

Yunus, anak Adam, adalah orang Suriah, meninggal tahun 1670. Ia memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa dan juga seorang penemu.

SANG RAJA DAN ANAK MISKIN

Sendirian saja, orang tidak akan bisa menempuh jalan dalam perjalanan batinnya. Kau tidak usah mencoba menempuhnya sendirian, sebab harus ada pembimbingmu. Yang kita sebut raja adalah pembimbing, dan anak miskin itu Si Pencari.
Dikisahkan, Raja Mahmud dan tentaranya terpisah. Ketika sedang mengendarai kudanya kencang-kencang, dilihatnya seorang anak lelaki kecil berada di tepi sungai. Anak itu telah menebarkan jalanya ke sungai dan tampaknya sangat murung.

"Anakku," kata Sang Raja, "kenapa kau murung? Tak pernah kulihat orang semurung kau itu."
Anak lelaki itu menjawab, "Hamba salah seorang dari tujuh bersaudara yang tidak berayah lagi. Kami hidup bersama ibu kami dalam kemelaratan dan tanpa bantuan siapapun. Hamba datang kemari setiap hari, memasang jala mencari ikan, agar ada yang dimakan setiap malam. Kalau hamba tak menangkap seekor ikanpun pada siang hari, malamnya kami tak punya apa-apa."

"Anakku," kata Sang Raja, "bolehkah aku membantumu?" Anak itu setuju, dan Rajapun melemparkan jala yang, karena sentuhan kewibawaannya, menghasilkan seratus ikan."
Catatan
Oleh orang-orang yang belum luas pengetahuannya, sistem metafisika sering dikira sebagai menolak nilai "benda duniawi" atau, sebaliknya, menjanjikan melimpahnya keuntungan kebendaan.
Namun, dalam Sufisme "hal-hal baik" yang dicapai tidak selalu kiasan atau sama sekali harafiah. Kisah perumpamaan ini berasal dari Faridudin Attar, dicantumkannya dalam Parlemen Burung, dan dipergunakan dalam pengertian baik harafiah maupun perlambangan. Menurut para darwis; seseorang bisa mendapatkan kekayaan kebendaan dengan jalan Sufi, apabila hal itu demi keuntungan Jalan dan juga dirinya sendiri. Disamping itu, ia pun akan mendapatkan kepuasan rohani sesuai dengan kemampuannya mempergunakan hal itu dengan cara yang benar.
RAKSASA DAN SUFI

Seorang ahli sufi yang sedang mengadakan perjalanan lewat sebuah perbukitan yang terpencil tiba-tiba berhadapan dengan raksasa--setan tinggi besar, yang akan menghancurkannya. Sufi itu berkata, "Baik, silahkan mencobanya; tetapi aku bisa mengalahkanmu, sebab aku sangat perkasa dalam pelbagai hal, lebih dari yang kau bayangkan." "Omong kosong," kata Raksasa. "Kau ahli Sufi, yang terpikat pada masalah rohani. Kau tak akan bisa mengalahkan aku, sebab aku memiliki kekuatan badaniah, aku tiga puluh kali lebih besar darimu."

"Kalau kau menginginkan uji kekuatan," kata Sufi, "ambil batu ini dan perahlah air darinya." Ia memungut sebutir batu kecil lalu memberikannya kepada Si Setan. Setelah berusaha sekuat tenaga, Raksasa itu menyerah. "Tak mungkin; tak ada air dalam batu ini. Coba tunjukkan kalau memang ada airnya." Dalam keremang-remangan, Sang Sufi mengambil batu itu, juga mengambil sebutir telur dari kantungnya, lalu memerah keduanya, meletakkan tangannya di atas tangan Raksasa. Sang Raksasa sangat terkesan; sebab orang memang suka terkesan oleh hal-hal yang tidak dipahami, dan menghargainya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari yang seharusnya mereka berikan.

"Aku harus memikirkan hal ini," katanya. "Mari kuajak kau ke guaku, dan akan kujamu kau malam ini." Sang Sufi mengikutinya masuk ke sebuah gua yang sangat besar, penuh dengan barang-barang milik para pengembara tersesat yang sudah dibunuh, benar-benar merupakan gua Aladin. "Berbaringlah disebelahku, dan tidurlah," kata Si Setan, "besok aku akan rnemberikan keputusan." Iapun membaringkan dirinya dan segera tertidur.

Sang Sufi, yang secara naluri mengetahui adanya bahaya pengkhianatan, segera merasa harus bangkit dan menyembunyikan diri ditempat yang agak jauh dari Raksasa. Itu dilakukannya sesudah mengatur tempat pembaringannya tadi, agar seolah-olah nampak ia masih tidur disamping Si Raksasa
Tidak lama setelah ia pindah tempat itu, Si Raksasa pun bangun. Ia mengambil sebuah batang pohon, menghajar Ahli Sufi yang dikiranya masih tidur disebelahnya itu dengan tujuh pukulan yang sangat kuat. Lalu ia berbaring lagi, langsung tidur. Sang Sufi kembali ketempat tidurnya semula, berbaring lalu memanggil Raksasa.

"O Raksasa, guamu ini sangat menyenangkan, tetapi aku baru saja digigit nyamuk tujuh kali. Kau harus menyingkirkan nyamuk itu."
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan Raksasa sehingga ia tidak berani lagi menyerang Sang Sufi. Bagaimanapun, kalau seorang telah dipukul tujuh kali dengan sebuah batang pohon oleh Raksasa yang menggunakan tenaga sekuat-kuatnya...
Paginya, Si Raksasa memberikan kantong kulit lembu kepada Sang Sufi, katanya, "Ambil air untuk makan pagi, agar kita bisa membuat teh." Sang Sufi tidak mengambil kantong itu (yang begitu besar sehingga diangkatpun sulit), tetapi pergi menuju ke sebuah sungai kecil untuk menggali saluran air kecil ke arah gua. Si Raksasa menjadi haus, "Kenapa tak kau bawa air?"

"Sabar, Sobat, saya sedang membuat saluran tetap menuju mulut gua, agar nantinya kau tak usah membawa-bawa kantong berat itu untuk mengambil air." Tetapi Raksasa itu terlalu haus dan tak sabar menanti. Diambilnya kantong kulit itu, lalu ia menuju ke sungai mengisinya dengan air. Ketika teh sudah tersedia, ia meminum beberapa galon, dan pikirannya mulai menjadi agak jernih. "Kalau kau memang kuat --dan kau memang telah membuktikannya-- kenapa tak bisa kau gali saluran itu secara cepat, tetapi sejengkal demi sejengkal?"

"Sebab," kata Sang Sufi, "tak ada hal yang sungguh-sungguh berharga bisa dikerjakan tanpa penggunaan tenaga sesedikit mungkin. Setiap hal menuntut penggunaan tenaga sendiri-sendiri; dan saya menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk menggali saluran. Disamping itu, aku tahu bahwa kau begitu terbiasa menggunakan kantong kulit itu sehingga tidak bisa meninggalkan kebiasaanmu."

Catatan
Kisah ini sering terdengar di warung-warung di Asia Tengah, dan menyerupai cerita rakyat di Eropa pada abad pertengahan. Versi ini berasal dari suatu Majmua (kumpulan kisah darwis) yang aslinya ditulis oleh Hikayati pada abad kesebelas, menurut kolofon, tetapi dalam bentuknya yang kita baca ini ia berasal dari abad ke enam belas.

0 komentar: