AHLI BAHASA DAN DARWIS


Pada suatu malam kelam seorang darwis berjalan melewati sebuah sumur kering ketika ia mendengar jerit minta tolong dari dasar sumur itu. "Ada apa?"
"Saya seorang ahli tata bahasa; karena tak tahu jalan, saya terperosok ke sumur ini; sekarang saya tidak bisa bergerak sama sekali," jawab orang itu.
"Tenang, bung, biar saya cari tangga bersama tali," kata darwis itu.


"Tunggu dulu!" kata Si Ahli Tatabahasa. "Tatabahasa dan pilihan katamu keliru; usahakan memperbaikinya."& "Kalau hal itu memang lebih penting dari yang pokok ini," teriak darwis itu, "kau sebaiknya tinggal saja di dasar sumur itu sampai saya bisa benar-benar berbahasa bagus."
Dan ia pun berlalu.

Catatan
Kisah ini diceritakan oleh Jalaludin Rumi dan dicatat dalam Tindakan Para Mahir karya Aflaki. Kisah ini pernah diterbitkan di Inggris tahun 1965 dengan judul Dongeng Para Sufi; kisah tentang Mevlevis dan tindakan-tindakannya ini ditulis pada abad ke empat belas.

Beberapa kisahnya sekedar berupa cerita aneh, namun yang lain mempunyai nilai sejarah: dan beberapa lagi merupakan jenis aneh yang oleh para Sufi dikenal sebagai "sejarah penjelasan," yakni serangkaian kejadian disusun untuk menunjukkan makna yang berkaitan dengan proses psikologis.
Berdasarkan hal itu, kisah-kisah itu disebut "Keterampilan Ilmuwan Darwis."

AIR SORGA

Haris seorang Badawi, dan istrinya Nafisa hidup berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang tua. Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau yang mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya, dan Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.

Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air itu terasa bagaikan air sorga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. "Air ini," katanya, "harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya."
Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-Rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma. Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air: satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah.

Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja.
"Pemimpin Kaum yang Setia," kata Haris, "Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Sorga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera membawanya kemari sebagai persembahan."

Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan, karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambil keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, "Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air sorga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.

Catatan
Kisah ini juga dikenal sebagai "Kisah tentang Dua Dunia." Kisah ini disampaikan oleh Abu al-Atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-Rasyid dan pendiri Darwis Mashkara ('Suka Ria') yang namanya di abadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis. dan negen-negeri lain.
Al-Atahiya disebut sebagai "Bapak puisi suci Sastra Arab." Ia meninggal tahun 828.

ANJING DAN KELEDAI

Seorang yang baru saja menemukan cara memahami arti suara-suara yang dikeluarkan binatang, pada suatu berjalan sepanjang lorong di desa.
Dilihatnya seekor keledai, yang baru saja meringkik dan di sampingnya ada seekor anjing, menyalak-nyalak sekeras-keras- nya.
Ketika orang itu semakin dekat, arti pertukaran suara binatang itu bisa ditangkapnya.

"Uh, bosan! Kau ngomong saja tentang rumput dan padang rumput yang kering bisa dipergunakan sebagai pengganti daging," katanya menyela.
Kedua binatang itu memandangnya sejenak. Anjing menyalak keras-keras sehingga suara orang itu tak terdengar sama sekali; dan keledai menyepak dengan kaki belakangnya tepat mengenai orang itu sampai kelenger.
Kemudian kedua binatang kembali adu mulut.

Catatan
Kisah ini, yang menyerupai kisah Rumi, adalah fabel dalam kumpulan kisah Majnun Qalandar, yang mengembara selama empat puluh tahun pada abad ketiga belas, membacakan kisah nasehat di pasar-pasar. Beberapa orang mengatakan bahwa ia benar-benar gila (seperti yang ditunjukkan oleh namanya); orang-orang lain beranggapan bahwa ia merupakan salah seorang di antara "Orang-orang yang berubah"-- yang telah mengembangkan pengertian adanya hubungan antara benda-benda, yang oleh orang-orang biasa dianggap terpisah.

BURUNG DAN TELUR

Zaman dahulu ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan-jalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.
Karena berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.
Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas.
Burung kecil itu masih memiliki kemampuan untuk terbang yang diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia masih berada dalam telur.

Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya, "Kapan aku akan terbang?" Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, "Cobalah terus menerus belajar terbang, seperti yang lain."
Yang tua itupun tidak tahu bagaimana mengajarkan cara terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar terbang.
Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah mengeraminya.

"Tanpa jasa itu," katanya kepada diri sendiri, "tentu aku masih berada dalam telur."
Dan ia juga kadang-kadang berkata kepada dirinya sendiri, "Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajarku terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, ini jawabnya. Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ke tahap berikutnya oleh-nya yang telah membawaku sejauh ini."

Catatan
Kisah ini terdapat dalam berbagai bentuk dalam versi-versi yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Maar_$B_(B, dan mengandung pelbagai pesan. Konon, kisah ini bisa ditafsirkan secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang telah dicapai oleh orang yang belajar ilmu Sufi. Yang jelas saja kisah ini mengandung nasehat-nasehat, beberapa diantaranya menekankan dasar dasar utama peradaban modern, antara lain:

"Konyollah apabila kita beranggapan bahwa suatu hal mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu juga menghalangi kemajuan selanjutnya," dan "Bahwa sesuatu bisa melakukan fungsi tertentu tidaklah berarti bahwa juga ia bisa melakukan lungsi yang lain."

BURUNG INDIA

Seorang saudagar memelihara burung dalam sangkar. Ia akan berangkat ke India, tanah asal burung itu, dan menanyakan barangkali binatang itu meminta oleh-oleh dari sana. Burung itu meminta kebebasannya, tetapi ditolak. Karena itu ia minta saudagar itu pergi ke hutan di India, lalu mengabarkan tentang keadaannya yang dalam kurungan kepada burung-burung lain yang masih bebas.
Saudagar itu pun melaksanakan pesan tersebut, dan begitu ia mengucapkan kata-katanya, seekor burung serupa dengan burung piaraannya jatuh dari sebuah pohon, tak sadarkan diri di tanah.

Si Saudagar berpendapat bahwa itu tentulah saudara burung piaraannya, dan iapun merasa sedih telah menyebabkan kematiannya.
Ketika ia pulang, burungnya bertanya apakah tuannya membawa kabar gembira dari India.
"Tidak," jawab saudagar itu, "kabar buruklah yang aku bawa. Salah seekor saudaramu tak sadar diri dan jatuh dekat kakiku ketika kusiarkan kabar tentang keadaanmu."
Segera setelah kata-kata itu diucapkan, burung yang dalam sangkar itu pun tak sadarkan diri dan jatuh ke dasar sangkar.

"Kabar kematian saudaranya menyebabkannya mati juga," pikir saudagar itu. Dengan sedih diambilnya burung itu dari sangkarnya, lalu diletakkannya di ambang jendela. Segera saja burung itu hidup kembali, terbang ke pohon terdekat.
"Kini kau tahu," kata Si Burung, "bahwa yang kau kira kabar buruk itu, ternyata merupakan kabar baik bagiku. Dan pesan, yakni cara untuk membebaskan diriku, ternyata telah disampaikan kepadaku lewat kamu, yang dulu menangkapku." Dan burung itupun terbang, bebas merdeka akhirnya.

Catatan
Fabel Rumi ini merupakan salah satu yang menekankan pentingnya pengajaran tak langsung dalam Sufisme .
Peniru dan sistem yang diatur sesuai dengan pemikiran konvensional, baik di Barat maupun di Timur, umumnya memilih penekanan pada "sistem" dan "program," dan bukan pada totalitas pengalaman yang dijalankan dalam mazhab Sufi.



0 komentar: