Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani

Raja Para Wali (BAGIAN 1)


Sengaja kali ini saya menampilkan seorang ulama besar, seorang waliyullah, yang mempunyai begitu banyak gelar, pengikut, serta karomah yang luar biasa, yaitu: Syaikh Abdul Qodir al-Jailani. Adapun latar belakang dari tulisan ini, bukan karena dilandasi oleh fanatisme yang berlebihan, atau pun ingin meng-kultus individu-kan seseorang, melainkan karena adanya keinginan dari hati yang tulus untuk menepis suara-suara miring yang bermaksud untuk men-diskredit-kan nama Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.

Sebagaimana kita ketahui, ada sementara orang yang menganggap haram bila kita menghadiahkan Al Fatihah kepada Syaikh Abdul Qodir, sementara ada pula orang yang meragukan kewalian beliau, bahkan yang lebih ekstrem lagi, ada yang sama sekali tidak mempercayai adanya wali Allah. Astaghfirullah! Padahal Allah sendiri mengatakan ADA, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)


Ayat di atas adalah ayat yang sudah jelas maknanya sehingga kita tidak perlu meragukan lagi kebenarannya. Sebab, apabila kita tidak mempercayainya, berarti hancurlah sudah keimanan kita kepada Allah SWT. Na'udzubillahi min dhalik. Maka, dengan berpedoman pada ayat tersebut, saya ingin menampilkan salah seorang waliyullah yang begitu mulia derajatnya di sisi Allah SWT. Orang yang mulia memang pantas untuk diberitakan, meskipun ia akan tetap mulia tanpa diberitakan.

Siapakah Wali-wali Allah itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka tak perlu ragu lagi kita untuk membaca lanjutan ayat sebelumnya:
"(yaitu) Orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa." (QS. Yunus: 63).

Jadi, jelaslah bahwa wali-wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa kepada Allah. Karena sedemikian beriman dan bertaqwanya mereka kepada Allah, membuat mereka menjadi begitu dekat kepada-Nya. Memang, kata "wali" (jamak, auliyaa') mengandung unsur makna "kedekatan" pada Sang Pencipta. Sehingga tak mengherankan jika orang-orang Barat menerjemahkan kata wali atau auliyaa' dengan istilah "friends of God", teman-teman Tuhan. Namun bagi pemahaman bahasa kita, tidak pantaslah bagi kita untuk menerjemahkan kata wali dengan istilah tersebut. Sebab, Allah tidak membutuhkan teman atau sekutu, yang ada hanyalah hamba-hamba-Nya yang terkasih. Atau bolehlah kita menggunakan istilah "para kekasih Allah".

Lantas, siapa sajakah para kekasih Allah itu? Ada banyak sekali, di antaranya adalah para nabi dan rasul, para shodiqin, syuhada', dan para ulama. Dan di antara para ulama, terdapatlah seorang yang bernama Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani. Meskipun beliau bukanlah seorang nabi atau rasul, namun siapakah yang berani meragukan dia sebagai "orang yang beriman dan selalu bertaqwa", yang di dalam Surat Yunus 62 dapat digolongkan sebagai wali Allah?

Sejarah Keluarga dan Kelahirannya

Namanya adalah Abdul Qodir, yang berarti "hamba dari Dzat yang Maha Kuasa". Ia juga dikenal dengan berbagai gelar atau sebutan seperti; Muhyiddin, al Ghouts al Adlom, Sultan al Auliyaa', dan sebagainya. Ia masih keturunan Rasulullah SAW, karena ibunya yang bernama Ummul Khair Fatimah adalah keturunan Sayyidina Husain, sedangkan ayahnya yang bernama Syaikh Abu Saleh Musa adalah keturunan Sayyidina Hasan. Sementara sayyidina Hasan dan Husain adalah putra-putra dari Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib dan Fatimah ra., putri Sang Nabi Agung Sayyidina Rasulullah SAW. Itulah sebab kenapa Syaikh Abdul Qodir juga diberi gelar sebagai al Hasani al Husaini, yaitu keturunan Hasan dan Husain, cucu-cucu dari rasulullah SAW. Jadi, silsilah keluarga Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani jika diurutkan ke atas, maka akan sampai ke Khalifah 'Ali bin Abi Thalib. Dan dari fihak ayahandanya melewati 14 generasi, sementara dari fihak ibunya melewati 12 generasi.

Menurut penuturan yang otentik, Syaikh Abdul Qodir dilahirkan di suatu tempat yang bernama Nif, yang terletak di daerah Jaelan (Persia). Sedangkan menurut Imam Yaqut Hamim, ia lahir di Basytir. Akan tetapi, hampir semua ahli sejarah sepakat bahwa Nif dan Basytir adalah dua nama yang berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu tempat yang sama. Maka Syaikh Abdul Qodir, karena ia lahir di Jaelan, kemudian dikenal dengan sebutan al-Jaelani.

Ia dilahirkan pada tahun 1077 M, pada saat ibunya sudah berusia 60 tahun. Kemudian setelah ia menanjak ke masa remaja, ia pun minta izin pada sang ibu untuk pergi menuntut ilmu. Oleh sang ibu, ia dibekali sejumlah uang yang tidak sedikit, dengan disertai pesan agar ia tetap menjaga kejujurannya, jangan sekali-sekali berbohong pada siapapun. Maka, berangkatlah Abdul Qodir muda untuk memulai pencarian ilmunya. Namun ketika perjalanannya hampir sampai di daerah Hamadan, tiba-tiba kafilah yang ditumpanginya diserbu oleh segerombolan perampok hingga kocar-kacir. Salah seorang perampok menghampiri Abdul Qodir, dan bertanya, "Apa yang engkau punya?" Abdul Qodir pun menjawab dengan terus terang bahwa ia mempunyai sejumlah uang di dalam kantong bajunya. Perampok itu seakan-akan tidak percaya dengan kejujuran Abdul Qodir, kemudian ia pun melapor pada pemimpinnya. Sang pemimpin rampok pun segera menghampiri Abdul Qodir dan menggeledah bajunya. Ternyata benar, di balik bajunya itu memang ada sejumlah uang yang cukup banyak. Seperti takjub, kepala rampok itu lalu berkata kepada Abdul Qodir: "Kenapa kau tidak berbohong saja ketika ada kesempatan untuk itu?" Maka Abdul Qodir pun menjawab: "Aku telah dipesan oleh ibundaku untuk selalu berkata jujur. Dan aku tak sedikitpun ingin mengecewakan beliau." Sejenak kepala rampok itu tertegun dengan jawaban Abdul Qodir, lalu berkata: "Sungguh engkau sangat berbakti pada ibumu, dan engkau pun bukan orang sembarangan." Kemudian ia serahkan kembali uang itu pada Abdul Qodir dan melepaskannya pergi. Konon, sejak saat itu sang perampok menjadi insyaf dan membubarkan gerombolannya.

Syaikh Abdul Qodir al-Jailani (BAGIAN 2)

Pencarian ilmunya berlanjut, hingga kemudian berangkatlah Abdul Qodir ke Baghdad di tahun at Tamimi (seorang sufi besar) wafat. Itu pada tahun 488 H, ketika ia telah berusia 18 tahun.
Pada saat itu, khalifah di Baghdad adalah Muqtadi bi-Amrillah dari dinasti Abbasiyyah.

Menurut Syekh Imam Taqiyyuddin, dalam kitabnya "Raudhatul Abrar", inilah yang terjadi:
"Ketika Syekh Abdul Qodir hampir memasuki kota Baghdad, ia dihentikan oleh al Khidi as. yang mencegahnya masuk ke kota itu, dan ia berkata: "Aku tak mempunyai perintah (dari Allah) untuk mengijinkanmu masuk (ke Baghdad) sampai 7 tahun ke depan." Oleh karena itu, Syekh Abdul Qodir pun menetap di tepi sungai Tigris selama 7 tahun. Ia hanya memakan sayur-sayuran dan dedaunan yang boleh dimakan, hingga lehernya berwarna hijau. Sampai akhirnya ia terbangun di tengah malam dan mendengar suara yang dialamatkan kepadanya: "Hai Abdul Qodir, masuklah ke Baghdad."

Maka, ia pun masuk ke Baghdad, dan di kota itulah ia berjumpa dengan para syekh, tokoh-tokoh sufi, dan para ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Yusuf al Hamadani, dari dialah Abdul Qodir mendapat ilmu tentang tasawwuf. Syekh al Hamadani sendiri telah menyaksikan bahwa Abdul Qodir adalah seorang yang istimewa, dan kelak akan menjadi seorang yang terkemuka di antara para wali. Ia berkata: "Wahai Abdul Qodir, sesungguhnya aku telah melihat bahwa kelak engkau akan duduk di tempat yang paling tinggi di Baghdad, dan pada saat itu kaun akan berkata: : "Kakiku ada di atas pundak para wali."

Kemudia Syekh Abdul Qodir bertemu dengan Syekh Hammad ad-Dabbas, dan berguru pula padanya. Dari dia, Syekh Abdul Qodir mendapatkan ilmu Toriqoh. Adapun akar dari toriqohnya adalah Syari'ah. Dalam hal syari'ah, Syekh Abdul Qodir adalah penganut madzhab Hanbali, namun ia pun seorang yang ahli dalam fiqih madzhab Syafi'i. Adapun toriqoh beliau untuk mendekatkan diri pada Allah adalah dengan doa siang malam melalui dzikir, sholawat, puasa sunnah, zakat maupun shodaqoh, zuhud dan jihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sendiri.

Syekh Hammad ad-Dabbas pun telah memprediksikan bahwa suatu saat Syekh Abdul Qodir, atas kehendak Allah, akan memaklumatkan bahwa kakinya ada di atas pundak para wali (baca: memimpin sekalian para wali pada zaman itu). Dan ramalan itu pun terbukti ketika Syekh Abdul Qodir mengumumkan dalam sebuah majelis di tahun 1165 M, di mana pada saat itu hadir lebih dari 40 masyayikh seantero Irak. Sekalian masyayikh itu, baik yang hadir di situ maupun yang berada di negeri seberang sana, tidak pernah menyangkal fatwa itu, bahwa pundak mereka memang berada di bawah kaki Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Dan mengakui bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah Wali Qutub, pemimpin sekalian para waliyullah pada zamannya.

Kemudian Syekh Abdul Qodir berguru pada al Qadi Abu Said al Mukharimi. Di Babul Azaj, Syekh al Mukharimi mempunyai madrasah kecil, yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Syekh Abdul Qodir. Di situlah Syekh Abdul Qodir berdakwah pada masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim. Maka segera terbukti bahwa Syekh Abdul Qodir memang memiliki karomah, khutbahnya penuh dengan kekuatan Tauhid yang luar biasa. Caranya memberi nasihat berbeda dengan para syekh maupun ulama lainnya, sehingga membuat orang-orang harus mengakui bahwa ia adalah seorang Qutb al Aqtaab, wali qutub, raja para wali. Dengan pesat reputasinya pun melonjak, dan pengikutnya pun semakin bertambah sehingga membuat madrasah itu menjadi terlalu sempit karena dipenuhi oleh orang-orang yang tertarik dengan majelisnya.

Dan dari Syekh al Mukharimi itulah Syekh Abdul Qodir menerima khirqoh (jubah ke-sufi-an), yang mana khirqoh itu secara turun-temurun telah berpindah tangan dari beberapa tokoh sufi yang agung. Di antaranya adalah: Syekh Junaid al-Baghdadi, Syekh Siri as-Saqoti, Syekh Ma'ruf al Karkhi, dan sebagainya.

Kesaksian para Syekh

Syekh Junaid al-Baghdadi, hidup 200 tahun sebelum kelahiran Syekh Abdul Qodir. Namun, pada saat itu ia telah memprediksikan akan kedatangan Syekh Abdul Qodir al-Jaelani, dengan cara sebagai berikut:
"Suatu ketika Syekh Junaid al-Baghdadi sedang bertafakur, tiba-tiba dalam keadaan jadab ia mengucap: "Kakinya ada di atas pundakku! Kakinya ada di atas pundakku!" Setelah ia tenang kembali, murid-muridnya menanyakan apa maksud ucapan beliau itu. Kata Syekh Junaid al-Baghdadi: "Aku diberitahukan bahwa kelak akan lahir seorang wali besar, namanya adalah Abdul Qodir yang bergelar Muhyiddin. Dan pada saatnya kelak, atas kehendak Allah, ia akan mengatakan: "Kakiku ada di atas pundak para Wali."

Syekh Abu Bakar ibn Hawara, juga hidup sebelum masa Syekh Abdul Qodir. Ia adalah salah seorang masyayikh yang terkemuka di Baghdad. Konon, saat ia sedang mengajar di majelisnya, ia berkata:
"Ada 8 pilar agama (autad) di Irak, mereka itu adalah; 1) Syekh Ma'ruf al Karkhi, 2) Imam Ahmad ibn Hanbal, 3) Syekh Bisri al Hafi, 4) Syekh Mansur ibn Amar, 5) Syekh Junaid al-Baghdadi, 6) Syekh Siri as-Saqoti, 7) Syekh Abdullah at-Tustari, dan 8) Syekh Abdul Qodir al-Jaelani."
Ketika mendengar hal itu, seorang muridnya yang bernama Syekh Muhammad ash-Shanbaki bertanya: "Kami telah mendengar ke tujuh nama itu, tapi yang ke delapan kami belum mendengarnya. O, Syekh, siapakah Syekh Abdul Qodir al-Jaelani?"
Maka Syekh Abu Bakar pun menjawab: "Abdul Qodir adalah sholihin yang tidak terlahir di Arab, tetapi di Jaelan (Persia) dan akan menetap di Baghdad."

Qutb al Irsyad Abdullah ibn Alawi al Haddad ra. (1044-1132 H), dalam kitabnya "Risalatul Mu'awanah" menjelaskan tentang tawakkal, dan beliau memilih Syekh Abdul Qodir al-Jaelani sebagai suri-teladannya. Berikut inilah keterangannya:

"Seorang yang benar-benar tawakkal mempunyai 3 tanda. Pertama, ia tidak takut ataupun mengharapkan sesuatu kepada selain Allah. Ke dua, hatinya tetap tenang dan bening, baik di saat ia membutuhkan sesuatu ataupun di saat kebutuhannnya itu telah terpenuhi. Ke tiga, hatinya tak pernah terganggu meskipun dalam situasi yang paling mengerikan sekalipun. Dalam hali ini, contohnya adalah Sayyidi Syekh Abdul Qodir al-Jaelani. Suatu ketika beliau sedang berceramah di suatu majelis, tiba-tiba saja jatuh seekor ular berbisa yang sangat besar di atas tubuhnya sehingga membuat para hadirin menjadi panik. Ular itu membelit Syekh Abdul Qodir, lalu masuk ke lengan bajunya dan keluar lewat lengan baju yang lainnya. Sedangkan beliau tetap tenang dan tak gentar sedikitpun, bahkan beliau tak menghentikan ceramahnya.
Ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Qodir al-Jaelani benar-benar seorang yang tawakkal dan memiliki karomah. Dan itu mengingatkan saya akan firman Allah: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah, tiada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati." (QS. Yunus: 62)

al Hafidz al Barzali, dalam kitabnya "al Masyakhotul Baghdadiyyah" mengatakan:
"Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah seorang ahli fiqih dari madzhab Hanbali dan Syafi'i sekaligus, dan merupakan syekh (guru besar) dari penganut kedua madzhab tersebut. Dia adalah salah satu pilar Islam yang doa-doanya selalu makbul, setia dalam berdzikir, tekun dalam tafakur dan berhati lembut. Dia adalah seorang yang mulia, baik dalam akhlak maupun garis keturunannya, bagus dalam ibadah maupun ijtihadnya."

Abdullah al Jubba'i mengatakan:
"Syekh Abdul Qodir al-Jaelani mempunyai seorang murid yang bernama Umar al Halawi. Dia pergi dari Baghdad selama bertahun-tahun, dan ketika ia pulang, aku bertanya padanya: "Kemana saja engkau selama ini, ya Umar?" Dia menjawab: "Aku pergi ke Syiria, Mesir, dan Persia. Di sana aku berjumpa dengan 360 syekh yang semuanya adalah waliyullah. Tak satu pun di antara mereka tidak mengatakan: "Syekh Abdul Qodir al-Jaelani adalah syekh kami, dan pembimbing kami ke jalan Allah."
(bersambung)

0 komentar: