PERUMPAMAAN TENTANG ORANG-ORANG RAKUS

Zaman dahulu ada seorang petani yang suka bekerja keras dan berbudi baik, yang mempunyai beberapa anak laki-laki yang malas dan rakus. Ketika sekarat, Si Tua mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mau menggali tempat tertentu di kebun. Segera setelah ayah itu meninggal, anak-anaknya bergegas kekebun, menggalinya dan satu sudut ke sudut lain, dengan putus asa dan kehendak yang semakin memuncak setiap kali mereka tidak menemukan emas di tempat yang disebut ayahnya tadi.

Namun mereka sama sekali tidak menemukan emas. Karena menyadari bahwa ayah mereka itu tentunya telah membagi-bagikan emasnya semasa hidupnya, lelaki-lelaki muda itupun menanggalkan usahanya. Akhirnya, terpikir juga oleh mereka, karena tanah sudah terlanjur dikerjakan, tentunya lebih baik ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang hasilnya melimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan tahun itu mereka menjadi kaya.

Setelah musim panen, mereka-berpikir lagi tentang harta terpendam yang mungkin masih luput dari penggalian mereka; mereka pun menggali lagi ladang mereka, namun hasilnya sama saja.
Setelah bertahun-tahun lamanya, merekapun menjadi terbiasa bekerja keras, disamping juga mengenal musim, hal-hal yang tidak pernah mereka pahami sebelumnya. Kini mereka memahami cara ayah mereka melatih mereka; mereka pun menjadi petani-petani yang jujur dan senang. Akhirnya mereka memiliki kekayaan yang cukup untuk membuat mereka sama sekali melupakan perkara harta terpendam tersebut.

Itulah juga ajaran tentang pengertian terhadap nasib manusia dan karma kehidupan. Guru, yang menghadapi ketidaksabaran, kekacauan, dan ketamakan murid murid, harus mengarahkan mereka ke suatu kegiatan yang diketahuinya akan bermanfaat dan menguntungkan mereka tetapi yang kepentingan dan tujuannya sering tidak terlihat oleh murid-mulid itu karena kebelumdewasaan mereka.
Catatan
Kisah ini, yang menggarisbawahi pernyataan bahwa seseorang bisa mengembangkan kemampuan tertentu meskipun ia sebenarnya berusaha mengembangkan kemampuannya yang lain, dikenal sangat luas. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengantar yang berbunyi, "Mereka yang mengulangnya akan mendapatkan lebih dari yang mereka ketahui."

Kisah ini diterbitkan oleh seorang ulama Fransiskan, Roger Bacon (yang mengutip filsafat Sufi dan mengajarkannya di Oxford, dan kemudian dipecat dari universitas itu atas perintah Paus) dan oleh ahli kimia abad ketujuh belas, Boerhaave.
Versi ini berasal dari Hasan dari Basra, Sufi yang hidup hampir seribu dua ratus tahun yang lalu.


KISAH PASIR

Dari mata airnya yang nun jauh di gunung sana, sebatang sungai mengalir melewati apapun di tebing dan ngarai, akhirnya mencapai padang pasir. Selama ini ia telah berhasil mengatasi halangan apapun dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap di pasir.
Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak bisa mengatasi masalahnya Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin bisa menyeberangi pasir, Sungai pun bisa."

Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cepat-cepat menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin bisa terbang, dan oleh karena itulah ia bisa menyeberangi padang pasir.
"Dengan menyeberang seperti yang kulakukan itu jelas, kau tak akan berhasil. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilahkan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ketempat tujuan."

Tetapi bagaimana caranya? "Dengan membiarkan dirimu terserap angin."
Gagasan itu tidak bisa diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah bisa dipastikan akan didapatnya kembali?
"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas semacam itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberang padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa itu benar?"
"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?"
"Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini?"
"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."

Mendengar hal itu, dalam pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bagian dirinya? --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingat-- benar demikiankah? bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.
Dan sungai itu pun membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan karena pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini bisa mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."

Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."
Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir.
Catatan
Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.

Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899.
Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.


KERETA

Ada tiga macam ilmu dalam telaah kemanusiaan. Yang pertama adalah Ilmu tentang pengetahuan biasa; yang kedua adalah Ilmu tentang keadaan batin yang luar biasa, yang biasanya disebut puncak kenikmatan. Yang ketiga, yang penting, adalah Ilmu tentang Kenyataan yang Benar; yang ketiga ini berada di antara kedua Ilmu yang disebut sebelumnya.
Hanya pengetahuan batin yang nyata bisa menghasilkan Ilmu Kenyataan yang Benar. Ilmu yang kedua lagi hanyalah berupa cermin--dalam bentuknya masing-masing dari yang ketiga. Yang kedua itu boleh dikatakan tak ada gunanya tanpa yang ketiga.

Bayangkan seorang kusir. Ia duduk di kereta, ditarik kuda, dipimpin dirinya sendiri. Kecerdasan adalah "kendaraan" itu, suatu bentuk luar yang di dalamnya kita menyatakan di mana diri kita berada dan apa yang harus kita kerjakan. Kendaraan menyebabkan orang dan kuda bisa melakukan tugasnya. Itulah yang kita sebut tashkil, ujud luar atau perumusan.
Kuda, atau tenaga penggerak, adalah energi yang disebut "Suatu keadaaan perasaan" atau kekuatan lain. Itu diperlukan untuk menggerakkan kereta. Orang, dalam gambaran kita itu, adalah yang melihat dan memahami, dengan cara yang lebih unggul dari yang lain, maksud dan kemungkinan keadaan, dan yang memungkinkan kereta itu bergerak maju menuju tujuannya.

Salah satu di antara ketiganya itu, sendiri-sendiri, tentu saja bisa melakukan sesuatu. Namun, peran gabungan, yang kita sebut gerak kereta, tidak akan terwujud apabila ketiganya tidak dihubungkan dengan Cara yang Benar.
Hanya "manusia," Diri yang nyata mengetahui hubungan ketiga unsur itu, dan kebutuhannya satu sama lain.
Di kalangan Sufi, Karya Agung adalah pengetahuan menggabungkan ketiga unsur tersebut. Terlalu banyak orang, kuda yang tak sesuai, kereta yang terlalu berat atau terlalu ringan --hasilnya tidak akan memadai.

Catatan
Nukilan ini tercatat dalam sebuah buku catatan darwis dalam Bahasa Persia, dan berbagai bentuk kisah itu terdapat dalam mazhab-mazhab Sufi yang tersebar mulai Damaskus sampai Delhi.

DARWIS DAN PUTRI RAJA

Konon, ada seorang putri raja yang keelokannya bagaikan rembulan; semua orang mengaguminya.
Pada suatu hari, seorang darwis yang sedang akan memasukkan makanan ke mulutnya, melihat putri tersebut. Makanan itu jatuh ke tanah, sebab ia begitu terpesona sehingga tidak bisa menggenggam semestinya.
Ketika darwis itu berlalu, Sang Putri tersenyum kepadanya. Tindakan putri itu sungguh-sungguh menyebabkannya sawan, makanannya di tanah, pikirannya lenyap separo. Dalam keadaan mabuk kepayang semacam itu, ia tidak berbuat apapun selama tujuh tahun. Darwis tersebut selama itu tidur di jalan, tempat anjing-anjing tidur.

Ia menjadi gangguan bagi Sang Putri, dan para pengawalnya memutuskan akan membunuh lelaki itu.
Tetapi Sang Putri memanggilnya, katanya, "Tak mungkin kita berdua hidup bersama. Dan budak-budakku akan membunuhmu; oleh karena itu menghilanglah saja,"
Lelaki yang merana itu menjawab, "Sejak kulihat Tuan, hidup ini tak ada artinya. Mereka akan membunuhku tanpa alasan. Namun, jawablah pertanyaanku yang satu ini, karena Tuanlah yang akan menjadi penyebab kematianku. Mengapa pula dulu Tuan tersenyum padaku?"

"Tolol!" kata Sang Putri. "Ketika kulihat betapa tololnya kau waktu itu, aku tersenyum kasihan, bukan karena apa-apa."
Dan Putri pun pergi meninggalkannya.
Catatan
Dalam Parlemen Burung, Attar membicarakan kesalahpahaman emosi subyektif yang menyebabkan orang percaya bahwa pengalaman tertentu ("senyum Sang Putri") meruapakan hadiah istimewa ("kekaguman"), padahal sebenarnya merupakan hal yang sebaliknya ("kasihan").

Banyak orang yang salah menafsirkan, sebab karya semacam ini memiliki konvensinya sendiri. Salah tafsir itu beranggapan bahwa karangan klasik Sufi adalah cara lain dari penggambaran teknis tentang keadaan kejiwaan.

KETIKA MAUT DATANG KE BAGDAD

Pada suatu hari, pengikut seorang Sufi di Bagdad sedang duduk di sudut sebuah warung ketika didengarnya dua mahkluk sedang bercakap-cakap. Berdasarkan apa yang dipercakapkan itu, pengikut Sufi tersebut mengetahui bahwa salah satu diantara yang sedang berbicara itu adalah Malaikat Maut.
"Saya bertugas menemui sejumlah orang di kota ini selama tiga minggu mendatang." kata Malaikat itu kepada temannya bicara.

Karena takut, pengikut Sufi itu menyembunyikan diri sampai yang berbicara itu berlalu. Kemudian, setelah memeras otak bagaimana caranya menghindarkan diri dari maut, ia memutuskan bahwa apabila ia menjauhkan diri dari Bagdad, tentunya Maut tak akan bisa mencapainya. Berdasarkan alasan itu, iapun segera menyewa kuda yang tercepat, dan memacunya siang malam menuju Samarkand.
Sementara itu Malaikat Maut menemui guru Sufi; mereka berdua membicarakan beberapa orang. "Dan di mana gerangan pengikutmu Si Anu?" tanya Maut.

"Tentunya ia ada di kota, sedang merenungkan sesuatu, mungkin di sebuah warung minum," jawab Sang Guru.
"Aneh," kata Sang Malaikat. "Ia terdapat dalam daftarku. Ya, betul, ini dia; dan aku harus menjemputnya dalam waktu empat minggu ini di Samarkand, ya, Samarkand."
Catatan
Versi kisah ini diambil dari Hikayat -i- Naqshia 'Kisah Nasib.'
Pencipta kisah ini, kisah yang sangat digemari di Timur Tengah, adalah Sufi Agung Fudail bin Ayad, bekas perampok yang meninggal pada awal abad kesembilan.

Menurut cerita Sufi, yang dikukuhkan oleh bahan-bahan sejarah, Harun Al-Rasyid Kalifah Bagdad mencoba memusatkan segala pengetahuan di istana dalam pengayomannya, tetapi tak ada seorangpun yang menghendaki Raja Segala Raja itu meminta bantuan dalam menjalankan tugasnya.
Ahli sejarah Sufi menceritakan bagaimana Harun dan Perdana Menterinya mengunjungi Mekah untuk bertemu dengan Fudail, yang mengatakan, "Sang Penguasa Kaum Setia: Tampaknya wajah Baginda yang cemerlang itu akan jatuh ke api neraka!"

Harun bertanya kepada Sang Bijak, "Pernahkah kau mengenal orang lebih mampu mengambil jarak daripada kau sendiri?"
Fudail menjawab, "Pernah: Baginda lebih mampu mengambil jarak dari lingkungan dunia biasa ini; tetapi baginda telah mampu mengambil jarak yang lebih besar yakni dari keabadian!"
Fudail mengatakan kepada Kalifah bahwa kekuasaan atas diri sendiri lebih berharga daripada kekuasaan selama seribu tahun atas orang-orang lain.



JALAN GUNUNG

Pada suatu hari, seorang yang cerdas, ahli pengetahuan yang pikirannya terlatih, datang ke sebuah desa. Sebagai latihan dan telaah ilmunya, ia ingin membandingkan pandangan yang berbeda-beda yang mungkin ada dalam desa itu.
Ia mendatangi sebuah warung dan menanyakan tentang seorang yang paling jujur dan seorang yang paling bohong di desa itu. Orang-orang di warung itu sepakat bahwa orang yang bernama Kazzab adalah pembohong terbesar; dan Rastgu yang paling jujur. Ahli pengetahuan itupun mendatangi kedua orang tersebut bergantian, mengajukan pertanyaan sederhana yang sama kepada keduanya, "jalan manakah yang terbaik menuju ke desa tetangga?"

Rastgu yang jujur itu berkata, "Jalan gunung."
Kazzab Si Pembohong juga berkata, "Jalan gunung."
Tentu saja jawaban itu membingungkan Sang Pengembara cerdas tersebut .
Demikianlah, iapun bertanya kepada orang-orang lain, penduduk desa biasa.
Ada yang mengatakan, "Lewat sungai;" yang lain mengusulkan, "Lewat padang saja"
Dan ada yang juga mengatakan, "Jalan gunung."
Akhirnya diputuskannya mengambil jalan gunung. Tetapi dalam kaitannya dengan tujuan semula tadi, masalah tentang orang bohong dan orang jujur di desa itu mengganggu batinnya.

Ketika ia mencapai desa berikutnya, ia ceritakan kisahnya di sebuah rumah penginapan; di akhir kisah dikatakannya. "Saya jelas telah membuat kekeliruan logika yang mendasar dengan menanyakan kepada orang-orang yang tidak tepat perihal Si Jujur dan Si Bohong. Nyatanya saya telah sampai disini tanpa kesulitan apapun, lewat jalan gunung."
Seorang bijaksana yang kebetulan berada di situ berkata, "Harus diakui bahwa para ahli logika cenderung tak terbuka matanya, karenanya suka minta orang lain membantunya. Tetapi masalah yang menyangkut hal ini justru sebaliknya. Kenyataannya adalah sebagai berikut: Sungai sebenarnya merupakan jalan termudah, oleh karenanya Si Pembohong menunjukkan jalan gunung. Tetapi orang yang jujur itu tidak hanya jujur; ia mengetahui bahwa Anda punya keledai dan itu memudahkan perjalanan Anda. Si Pembohong kebetulan tidak mengetahui bahwa Anda tak punya perahu: seandainya ia tahu hal itu, pasti diusulkannya jalan sungai."

Catatan
"Orang-orang menganggap kemampuan dan berkah para Sufi sulit dipercaya. Tetapi orang-orang semacam itu adalah yang tidak memiliki pengetahuan tentang kepercayaan yang sebenarnya. Mereka mempercayai segala hal yang tidak benar, karena kebiasaan atau karena diberi tahu oleh penguasa.
Kepercayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang berbeda. Mereka yang mampu memiliki keperccayaan yang sebenarnya adalah yang pernah mengalami sesuatu. Jika mereka sudah pernah mengalami kemampuan dan berkah, yang sekedar diceritakan tidak ada harganya bagi mereka."

Kata-kata tersebut, menurut Sayed Syah (Qadiri, meninggal tahun 1854) kadang-kadang mengawali kisah "Jalan Gunung" ini

0 komentar: